ABU YAZID AL-BISTAMI

Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, lahir sekitar tahun 200H (813M) di Bustham terletak di bagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau merupakan salah seorang Sultan Aulia, yang juga sebagai salah satu Syeikh yang ada dalam silsilah dalam thariqah Sadziliyah dan beberapa thariqah yang lain. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri. Didirikan di atas makam nya sebuah kubah yang indah oleh seorang Sultan Mongol, Muhammad Khudabanda atas nasehat gurunya Syekh Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustam itu . Abu Yazid adalah seorang tokoh sufi yang terkenal pada abad ketiga Hijriyah. Datuk Abu Yazid merupakan penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham.Sedikit sekali orang mengetahui tentang sejarah hidupnya. Jika tidak ada pengarang seperti at-Attar, orang tidak akan mengenalnya sama sekali. Siapa Abu Yazid itu, beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa anekdot-anekdot sufi belaka (Fariduddin al-Attar, 1979: 101-105). Sebelum Abu Yazid mempelajari tasawuf, ia belajar agama Islam menurut mazhab Hanafi. Kemudian ia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang ilmu tauhid dan hakikat, begitu juga tentang fana’ dari Abu Ali Sindi. Dia tidak meninggalkan tulisan, tetapi pengikut-pengikutnyalah mengumpulkan ucapan/ajaran-ajarannya (Aboebakar Atjeh, 1984: 135-136). Abu Yazid adalah seorang zahid yang terkenal. Baginya zahid itu adalah seorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fasa, yaitu zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fasa terakhir ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa lagi selain Allah. Abu Yazid merupakan seorang tokoh sufi yang membawa ajaran yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak ditentang oleh ulama Fiqh dan Kalam, yang menjadi sebab ia keluar masuk penjara. Meskipun demikian, ia memperoleh banyak pengikut yang percaya kepada ajaran yang dibawanya. Pengikut-pengikutnya menamakannya Taifur. Kata yang diucapkannya seringkali mempunyai arti yang begitu mendalam, sehingga jika ditangkap secara lahir akan membawa kepada syirik, karena mempersekutukan antara Tuhan dengan manusia. Memang dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid dipandang sebagai pembawa faham al-fana’ dan al-baqa’ serta sekaligus pencetus faham al-ittihād; dan A. J. Arberry menyebutnya sebagai "Orang pertama dari kaum sufi yang mabuk kepayang"(1979: 54).



FAHAM ITTIHAD ABU YAZID AL-BUSTAMI
Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami disebut sebagai sufi pertama yang membawa faham ittihad (persatuan mistik) dalam arti seorang telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, karena kesadarannya telah lebur bersatu dengan eksistensi Tuhan. Munculnya faham ini telah menimbulkan sikap dan pandangan pro kontra di kalangan ulama. Dunia tasawuf adalah dunia rasa yang sarat dengan pengalaman spiritual yang seringkali berada di luar lingkungan rasional. Perlu disadari bahwa sebelum terjadinya ittihad, seorang sufi telah mengalami fana’ dan baqa’. Dalam keadaan demikian tentu tidak boleh dipakai ukuran yang biasa digunakan untuk menilai suatu ekspresi luar biasa (syathahat) yang keluar dari mulut seseorang yang dalam keadaan sedar. Hanya sangat disayangkan pengalaman sufistik seperti itu sering terungkap kepada khalayak hingga dipandang sebagai ucapan yang menyesatkan karena secara lahiriah melanggar prinsip tanzih dalam ajaran Islam.

AJARAN TASAWUF ABU YAZID
Abu Yazid al-Bustami dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “kesatuan wujud” atau ittihad . Perkembangan ajaran tasawauf ke arah ini digambarkan oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atheh sebagai berikut: Lalu sampailah pada abad yang ke-III orang membicarakan latihan rohani, yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Jika pada akhir abad ke-II ajaran sufi merupakan kezuhudan (asceticisme), dalam abad ke-III ini orang sudah meningkat kepada wusul dan ittihad dengan Tuhan (mistikisme). Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap tentang kecintaan, fana fil mahbub, bersatu dengan kecintaan, ittihād fil mahbub, bertemu dengan Tuhan, liqa’; dan menjadi satu dengan Dia. ‘ainul jama’ sebagai yang diucapkan oleh Abu Yazid Bisthami (Aboebakar Atheh, 1984:169). Sebelum seorang sufi memasuki tahap persatuan dengan Tuhan(al-ittihād), ia harus terlebih dahulu dapat menghancurkan dirinya melalui fana’. Penghancuran diri (fana’) dalam khazanah sufi senantiasa diiringidengan baqa’. Apa yang disebut dengan fana’ dan baqa’ itu ? Secara logawi, fana’ berarti hancur, lebur, musnah, lenyap, hilang atau tiada; dan baqa’ berarti tetap, kekal, abadi atau hidup terus (l;awan dari fana’). Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua dalam arti bahwa adanaya fana’ menunjukkan adanya baqa’. Dalam istilah R. A. Nicholson dikatakan:
“The complement and consummation of death to self (fana’) is everlasting life in God (baqa’)” (R. A. Nicholson, 1973: 214). Yakni, “Kelengkapan dan kesempurnaan dari leburnya pribadi (fana) ialah kehidupan abadi di dalam wujud Tuhan (baqa)”. Hal ini memang dapat dilihat dari fahamfaham sufi berikut :
- من فنى عن المخالفات بقى فى الموافقات
- من فنى عن الأوصاف المذمومة بقى بالاوصاف المحمودة
- من فنى عن أوصافه بقى بأوصاف الحق
- Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah taqwanya.
- Siapa yang menghancurkan sifat-sifat (akhlak) yang buruk, tinggal baginya sifat-sifat yang baik.
- Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, tinggal baginya sifat-sifat Tuhan. (Harun Nasution, 1973: 80) Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.

فناؤه عن نفسه و عن الخلق بزوال إحساسه بنفسه
وﺑﻬم.......
فنفسه موجودة والخلق موجودون ولكنه لا علم له ﺑﻬم
ولابه
Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya (Al-Qusyairi, t.th: 37). Dr. Ibrahim Basyuni, setelah mengumpulkan beberapa definisi pengertian fana’ ini sebagai berikut :
الفناء حالة نفسية تنمحى فيها علائق الانسان بالكون والنفس
دون ان تنحى بشريته
Fana, keadaan jiwa yang menghilangkan hubungan manusia dengan alam dan raganya, bukan menghilangkan wujud kemanusiaannya (Ibrahim Basyuni, t.th: 239). Dalam hal pengertian fana’ ini, di dunia tasawuf, kata Dr. Ibrahim Madkur berarti :
نظرية تتلخص فى ذهاب الحس والوعى وانعدام الشعور بالنفس
و بالعالم الخارجى , وانمحاء العبد فى جلال الرب , فيفنى العبد
فى شخصه , و يبقى فى ربه , بعد مجاهدة و مجالدة و تصفية
للنفس
Teori yang pada kesimpulannya menjelaskan tentang hilangnya kesadaran dan perasaan pada diri dan alam sekitar, terhapusnya seorang hamba di dalam kebesaran Tuhan, sirnanya seorang hamba terhadap wujud diri-nya dan kekal (tinggal) di dalam wujud Tuhannya setelah melewati perjuangan dan kesabaran serta pembersihan jiwa (Ibrahim Madkur, 1979: 141). Dan dalam masalah ini pula, Nicholson mengatakan : To Pass away from self (fana’) is to realize that self does not exist, and that nothing exista except God (tauhid)” (R. A. Nicholson, 1973: 50).
Sebenarnya dalam sepanjang sejarah tasawuf, istilah fana’ kata Nicholson, memiliki beberapa ingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :
a. Ttransformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian nafsu dan keinginan.
b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi, pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat-Nya.
c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran. Tingkat fana yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentanag fana itu sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana” atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’) (R. A. Nicholson, 1975: 60-61). Selanjutnya, kata Nicholson, tahap terakhir dari fana’ adalah lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa, yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan (Nicholson, 1975: 61). Dengan demikian jelaslah bahwa dalam faham fana ini, materi
manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan eksistensi jasad kasarnya. Nicholson mengertikan faham ini sebagai: fana the passing-away of the Sufi from his phenomenal existence, in volves baqa’, the continuance of his real existence. He who dies to self lives in
God, and fana, the consummation of this death, marks the attainment or baqa’, or union with the divine life” (Nicholson, 1973: 149). Yakni, “Fana, sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini, menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi”. Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni,menggambar kan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan” (Ibrahim Basyuni, t.th: 238). Abu Yazid al-Bustami, yang dalam sejarah tasawuf dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan faham fana dan baqa ini mengartikan fana sebagai hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi (al-fana’ ‘an al-nafs) sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradah Tuhan, bukan menyatu dengan wujud-Nya (Team Penyusun Naskah, 1981-1982: 72). Lebih jelas lagi faham ini tersimpul dalam kata-katanya :
- أعرفه بى حتى فنيت ثم عرفته به فحييت
- Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya maka akupun hidup. Dan katanya pula :
- جننى بى فمتّ ثم جننى به فعشت ...... فقلت الجنون
بى فناء و الجنون بك بقاء
- Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati; kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup, ………..aku berkata : Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup. (Harun Nasution, 1973: 81) Jadi kalau seoarang sufi telah mencapai al-fana’ ‘an al-nafs, yaitu kalau wujud jasmaniah tidak ada lagi yaitu kalau wujud jasmaninya tidak ada lagi (dalam arti tidak disadarinya lagi) maka yang akan tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Dan kelihatannya persatuan denngan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya al-fana’ ‘an al-nafs.
2. Al-Ittihād
Dilihat dari sudut etimologi, ittihād (al-Ittihād) berarti peratuan, Dalam kamus sufisme berarti perasatuan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, yang dimaksud dengan ittihād kelihatannya ialah satu tingkatan tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya yang dicintai telah menjadi satu (Harun Nasution, 1973: 82). tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah
dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernbah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapanucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat (Ibrahim Madkur, 1979: 2). Ittihād itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam faham ittihād hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihād yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang
disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi (Nicholson, 1973: 218). Sekarang kalau memang fana yang merupakan prasyarat untuk mencapai ittihād itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas. Dalam Ittihād, kata A. R. al-Badawi seperti dikutip oleh Harun Nasution, yang dilihat hanya satu wujud, sungguhpun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihād bisa terjadi pertukaran peranan antara sufi dengan Tuhan (Harun Nasution, 1973: 82-83). Faham ittihād ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrîd fana’ fî al-tauhîd,(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata : Telah kami lihat Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana (Abdul Qadir Mahmud, t.th: 313). Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi proses terjadinya ittihād. Dalam bagian awal ungkapan itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihād ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya :
قال : يا ابا يزيد إﻧﻬم كلهم خلقى غيرك فقلت : فأنا أنت و
أنت أنا و أنا أنت
Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau (Harun Nasution, 1973: 85).
Selanjutnya Abu Yazid berkata :
إنى أنا الله لا اله إلا أنا فاعبدنى
Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku (Harun Nasution, 1973: 86). Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid dalam ittihād berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan :
لأنه هو الذى يتكلم بنسانى أما أنا فقد فنيت
Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedang aku sendiri dalam keadaan fana (Abdul Qadir Mahmud, t.th: 310). Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihād.
Abu Yazid condong kepada kepada konsepsi “kesatuan wujud”. Faham ini muncul sebagai konsepsi lanjut dari pendapat sufi bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari “realita” yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki hanyalah wujud Tuhan, sesuatu yang menjadi dasar bagi adanya segala sesuatu yang ada. Dunia hanyalah bayangan dan khayal, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan. Atas dasar pemikiran tentang Tuhan yang demikian itu, mereka berpendapat, bahwa alam ini termasuk manusia merupakan refleksi dari hakikat Ilahi. Dalam diri manusia terdapat unsur ketuhanan karena ia merupakan pancaran Nur Ilahi, seperti pancaran cahaya matahari. Oleh karena itu, jiwa manusia selalu bergerak berusaha untuk bersatu kembali dengan sumber asalnya. Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Tuhan dapat bersatu dengan Tuhan dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksistensi keberadaannya sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya, fana’ ‘an al-nafs (Team Penyusun Naskah, 1981/1982: 160). Dengan istilah lain, barang siapa yang mampu menghapuskan kesadaran pribadinya dan mampu membebaskan diri dari alam sekelilingnya, ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakannya hanya satu. Keadaan seperti inilah yang disebut ittihād, yang oleh Abu Yazid disebut tajrîd fanā’ fî al-tauhîd. Nampaknya kontroversi sekitar faham fana’, baqa’ dan ittihād dalam tasawuf terus berkembang hingga sekarang. Masalahnya apakah ia berasal dari ajaran Islam atau import dari luar ?. Ibrahim Madkur melihat bahwa faham ittihād ini adalah sesuatu yang paling rumit di dalam tasawuf Islam, sehingga para pengamat tasawuf dalam menilainya bisa dibagi menjadi dua kelompok: ada yang menerimanya tetapi juga ada yang menolaknya (Ibrahim Madkur, 1976: 65). Selanjutnya Madkur dengan tegas mengatakan bahwa faham ittihād ini sebenarnya tidak bersumber dari Islam. Katanya, al-Qur’an dengan ungkapan yang tegas, secara mutlak, tidak memberi tempat pada adanya faham ittihād. Hanya saja, para pendukungnya tidak kehilangan akal untuk melandasinya dengan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi (Ibrahim Madkur, 1976: 65). Penilaian serupa juga dikemukakan oleh Aboebakar Atjeh. Dengan nada yang agak moderat, beliau mengatakan :
Sebenarnya tidak ada sesuatu petunjuk pun dalam Qur’an yang dengan tegas-tegas menerangkan ada ittihād itu. Ada beberapa ayat qur’an yang menerangkan keadaan akrabnya Tuhan dengan hamba- Nya, seperti ayat : “Kami lebih dekat padanya dari pada kedua urat leharnya” (Qur’an L : 16). ayat : “Ia (Tuhan) selalu bersama kamu, dimanapun kamu berada” (Qur’an), ……. (Aboebakar Atjeh, 1984: 137). Selanjutnya ada sebuah hadis qudsi yang berbunyi : Mutaqqarribun itu tidaklah dapat mendekati Aku dengan hanya menunaikan segala ibadah yang perlu, yang sudah diwajibkan kepadanya, tetapi seorang hamba-Ku yang senantiasa mengerjakan segala ibadat-ibadat sunnat, dapatlah mendekati Daku, sehinga ia mencintai Daku dan Aku mencintai dia, maka pendengaran-Ku menjadi pendengarannya dan penglihatan-Ku menjadi matanya untuk melihatnya. (Aboebakar Atjeh, 1984: 137). Ada pendapat yang mengatakan bahwa faham fana’ dalam tasawuf Islam ini berasal dari ajaran Buddhaisme tentang faham nirwana, karena fahaman Buddhaisme ini hampir serupa dengan faham fana’ dalam tasawuf. Untuk mencapai nirwana orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi.
Dalam persoalan ini Nicholson mengatakan bahwa konsepsi sufi tentang kefanaan diri adalah dapat dipastikan berasal dari India. Penganjurannya seorang ahli mistik Persi, Bayazid dari Bistam mungkin telah menerima dari gurunya, Abu Ali dari Sind (India). Tambahan lagi bahwa dalam sejarah, selama ribuan tahun sebelum kemenangan umat Islam Buddhisme pernah memiliki akar yang kuat di kawasan timur Persia dan Bactria, sehingga oleh karenanya hampir dapat dipastikan adanya pengaruh terhadap perkembangan ajaran tasawuf di daerah tersebut (Nicholson, 1975: 17-18, Saiyid Athar Abbas Rizvi, 1978: 44-45). Demikian pendapat yang mengatakan bahwa faham fana’, baqa’ dan ittihād ini berasal dari luar Islam (Buddhisme). Namun keterangan-keterangan yang ada belum memberikan kepastian dalam keputusan kepada kita, karena analisis yang diberikan hanya berupa pemikiran-pemikiran belaka. Saya kira, terlepas dari maksud untuk menerima atau menolaknya, faham ini dapat saja lahir dari ajaran Islam sendiri, baik dari al-Qur’an ataupun Hadis. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Rahman ayat 26-27 :
ُ كلُّ مَنْ عََليْهَا فَانٍ , وَيَبَْقى وَجْهُ رَبِّكَ ُذو الْجَ َ لا ِ ل وَالإِ ْ كرَاِم
Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (Al-Rahman/55 : 26-27) Dan sabda Rasulullah saw. :
كنت كترا مخفيا فأحببت أن أعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku merekapun kenal pada-Ku (Harun Nasution, 1973: 61).
Memang seperti dikatakan oleh mereka yang menolak faham yang dibawa oleh Abu Yazid ini, bahwa ayat atau hadis digunakan sering diselewengkan maksudnya. Tetapi kita mungkin bisa bertanya setelah kita melihat penjelasan kaum sufi, apakah mereka yang menolak faham ini tidak memaksakan pendapatnya dalam melihat dan menafsirkan ayat atau hadis yang digunakan kaum sufi, karena ayat atau hadis tersebut dapat mengandung lebih dari satu arti. Kita mengenal biasanya orang sufi mengambil arti batin, arti yang tersirat; sementara orang lain mengambil arti lahir, arti yang tersurat. Mereka menilai tasawuf dengan norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku di kalangan mereka, sehingga berkesimpulan bahwa ajaran tasawuf tersebut bertentangan dengan Islam atau tidak bersumber dari ajaran Islam. Alasan lain dari mereka yang menolak adanya faham ittihād adalah tidak mungkin terjadi persatuan antara dua subtansi (zat), antara manusia dengan Tuhan. Dengan tegas Muhammad al-Sadiq Arjun mengatakan :
......الاتحاد فذلك ايضا اظهر بطلانه لان قول القائل ان العبد
صار هو الرب كلام متناقض فى نفسه بل ينبغى ان يتره الرب
سبحانه عن ان يحري اللسان فى حقه بأمثال هذه المحالات و
نقول قولا مطلقا ان قول القائل ان شيئا صار شيئا اخر محال
الإطلاق
…….., Demikian juga ittihād, nampak sekali salahnya, karena perkataan seseorang bahwa seorang hamba dapat menjadi Tuhan adalah perkataan yang paradoks dalam wujudnya, Padahal seyogyanya dia mensucikan diri dari segala perkataan yang mustahil-mustahil ini. Kita dapat berkata dengan tegas (mutlak) bahwa perkataan seseorang, sesuatu dapat menjadi sesuatu yang lain adalah mutlak mustahilnya (Muhammad al-Sadiq Arjun,1967: 118). Jika kita kembali kepada pengertian ittihād seperti yang terurai di atas, bukanlah yang dimaksud dengan ittihād itu berpadunya dua subtansi menjadi satu, tetapi merupakan satu keadaan rohani yang diperoleh melalui al-fana’ ‘an al-nafs, yakni hilangnya kesadaran seorang sufi akan wujud dirinya dan yang tinggal dalam kesadarannya hanya wujud Tuhan. Hal ini dalam ungkapan sufi sebagaimana dikutipkan di atas, tidak ubahnya seperti hilangnya maksiat dan sifat-sifat buruk. Dengan hancurnya hal-hal ini, maka yang tinggal ialah taqwa dan kelakuan baik. Dengan melihat uraian di atas, penolakan terhadap adanya faham ittihād dalam tasawuf belum memberikan alasan yang meyakinkan. Ada dua hal yang mempengaruhi sebagian para pengamat ajaran tasawuf, khususnya faham ittihād selama ini :
1. Mereka melihat dan menilai tasawuf dengan kacamata yang sesuai untuk dirinya, maksudnya menilai tasawuf menurut norma-norma yang mereka yakini.
2. Mereka menggunakan batasan ittihād menurut persepsinya. ITTIHĀD DI PAHAMI SEBAGAI PERSATUAN DUA SUBTANSI, MANUSIA DENGAN TUHAN, YANG TERJADINYA BERDIRI SENDIRI-SENDIRI.

Tasawuf atau sufisme, sebagaimana halnya dengan mistisisme diluar agama Islam, mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirad Tuhan. Intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya tasawuf, ialah kesadaran akan adanya kemonikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesaaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihād (Harun Nasution, 1973: 56). Tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf, demikian kesimpulan Abdul al-Hakim Hassan, adalah sampai kesadaran bersatu dengan Allah (Abdul al-Hakim Hassan, 1954: 19). Menurut Ibrahim Basyuni, tasawuf adalah kesadaran sejatinya manusia benar untuk selalu berjuang hingga ia dapat merasakan perjumpaan dengan wujud mutlak (Allah) (Ibrahim Basyuni, t.th: 28). Dalam konteks ini semua aktivitas ketasawufan, langsung atau tidak, bekaitan dengan penghayatan dan ma’rifah pada Allah. Hal ini bukan hasil pengamatan panca indera atau penalaran rasio, tetapi merupakan penghayatan spiritual atau pengalaman yang bersifat mistik (mystical experience). Pengalaman kejiwaan seperti ini dalam dunia tasawuf disebut fana’. Terjadinya kondisi fana’ kerena begitu mendalamnya rasacinta yang termanifestasi dalam aktivitas sufi sehari-hari. Dalam mabuk cinta itu, sang sufi akan mengalami penghayatan wahdat al-syuhud, apa saja yang dipandang tampak sebagai Tuhan. Al-Syibli, misalnya, pernah menyatakan: “Aku tak pernah melihat sesuatu kecuali Tuhan” (Simuh, 1997: 104). Aktivitas yang mutlak dilakukan sang sufi adalah zikir. Melalui konsentrasi dalam zikir, yang oleh sufi disebut dengan menenggelamkan hati dalam zikir kepada Allah, akan menghantarkannya pada pengalaman dan prenghayatan fana’ secara total pada Allah. Fana’ adalah proses beralihnya kesadaran dari alam inderawi atau alam lahir kealam kejiwaan atau alam batin. Oleh kerena itu kondisi fana’ merupakan bagian yang nyatu dengan wujud Allah digambarkan sebagai berikut: Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat peribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai menyaksikan keindahan wajah Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan wajah Allah; kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah. (Simuh, 1997: 106).
Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad seorang sufi harus melalui tiga tahapan. Pertama, lenyapnya kesadaran akan alam sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam penghayatan gaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat al-Haqq (Tuhan). Itulah penghayatan ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’. Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ alfana’, yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya. Salam satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai berikut:
َفَلمَّا سَمِعَتْ ِبمَكِْرهِنَّ َأرْسََلتْ ِإَليْ ِ هنَّ وََأعْتَدَتْ َلهُنَّ مُتَّ َ كًأ وَءَاتَتْ
ُ كلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّينًا وَقَاَلتِ اخْرُجْ عََليْ ِ هنَّ َفَلمَّا رََأيْنَهُ َأكْبَرْنَهُ
وََقطَّعْنَ َأيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا هَ َ ذا بَشَرًا ِإ ْ ن هَ َ ذا ِإلَّا مََلكٌ
َ كِريمٌ.
Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka." Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. (Yusuf/12: 31). Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini baru ketuhanan seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk lain.sudah fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati terbukanya tabir lalu menyaksikan keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan dirinya dan akan makhlik sejenisnya (Al-Qusyairi, t.th.: 68). Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf yang ganteng mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan katakata. Untuk memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas patut diperhatikan pernyatakan William James dalam bukunya The Varieties of Religion Experience. Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman mistis; dan dengan cara menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan mampu menghindari dari perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan.
1. Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan; tidak ada uraian manapun yang memadai untuk bisa mengisahkannya dalam katakata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus dialami secara langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang lain.
2. Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang yang mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dab pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa dirasakan.
3. Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi; batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah jam, atau paling lama satu atau dua jam.
4. Kefasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi (William James, 2004: 506-508). Dengan mengikuti keterangan jaman diatas , maka situasi ittikad Abu Yazid harus dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang sufi. Sebagai pengalaman kejiwaan yang berdeminsi spiritual tentu sangat bersifat personal dan unik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri: Sangat sulit, bahkan mustahil di ungkap kan dengan kata-kata; menimbulkan pencerahan dan kesadaran adanya Yang Mahakuasa yang menguasai ruang dan waktu, hanya terjadi dalam waktu singkat, dan berlakunya kepasifan total yang di awali dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat dan diakhiri dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar bias.Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu Yazid al- Bustami dipandang sebagai pencetus faham fana’, baqa’ dan ittihad, fana ‘ dan baqa’ merupakan kembar dua dalam pencapaian ittihad. Dengan kata lain, ittihad itu baru tercapai setelah melewati fana dan baqa. Fana’ yang dimaksudkan disini ialah hilangnya kesadaran akan ujud dirinya (al-fana ‘an nafs ) dan ujud alam sekelilingnya (al-fana ‘an al- Khaluq) hingga ia (sufi) tidak tahu bahwa dirinya dalam keadan fana’ (al-fana ‘an Allah). Kerena seluruh aktivitas dan kesadarannay terkonsentrasi pada Allah, maka ia larut dalam kesadaran Allah (al-fana fi Allah) dan akhirnya pada saat itu yang ada dalam perasaannya hanyalah Allah (al-baqa bi Allah). Dalam keadaan demikian ia merasa dirinya telah bersatu dengan Allah (ittihad) Ittihad sebagai pengalaman sufistik haruslah dikaji dalam konteks kejiwaan, ia memiliki beberapa cirri yang harus diperhatikan oleh pengkajian tasawuf. Pro kontra faham ittihad harus dilihat dari sudut ini. Beberapa ciri pengalaman sufistik itu adalah:
1. tidak bisa diungkap kepada orang yang belum mampu atau belum siap menerimanya.
2. memberikan pencerahan dan kesadaran baru yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan nalar intelik.
3. pengalaman seperti itu hanya terjadi sebentar, paling lama hanya berlangsung dua jam.
4. terjadi kepasifan total dimana perasaannya butuh kedalam kesadaran terhadap sesuatu yang menguasai dirinya.
Pengalaman mistik tertinggi memeng menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum sufi’, ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran (al-Haqq) yang memabukkan. Bahkan untuk mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan dlamir al-sya’n, yaitu kata “an” yang berarti “bahwa” dalam kalimat syahadath pertama asyhadu al lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka menghayati tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia yang Maha Ada.


***Fana' untuk yang menyembah dan baqa' untuk yang disembah?***

Popular posts from this blog

KITAB BARENCONG BHG 11

KITAB BARENCONG BHG 3

SHAMSUDDIN PASAI